*Oleh : Muharram Nurdin
“Fenomena dibutonkan adalah tamparan digital dari rakyat. Mereka sudah lelah dengan pejabat yang lupa etika, lelah dengan klarifikasi basa-basi. Kini publik menuntut sesuatu yang lebih tegas: pemberhentian dari jabatan.”
Gelombang kemarahan publik di media social beberapa waktu terakhir seharusnya menjadi alarm keras bagi para pejabat publik. Istilah baru “dibutonkan” hasil kreativitas netizen untuk mempermalukan pejabat yang tak patut bukan sekadar lelucon politik, melainkan ekspresi frustrasi rakyat.
‘Ketika masyarakat sampai membuat meme, poster, dan video sindiran demi menyeret pejabat ke ruang publik, itu berarti kepercayaan sudah menipis.
Kasus viral anggota DPRD Gorontalo yang dengan enteng mengatakan akan “merampok uang negara” hanyalah puncak dari gunung es. Banyak kasus serupa terjadi di daerah lain.
Sikap arogan, ucapan kasar, hingga gaya hidup hedon pejabat kerap dipertontonkan di hadapan publik, seolah mereka lupa bahwa jabatan adalah amanah, bukan hak istimewa untuk berperilaku sekehendak hati.
Mari kita jujur: sanksi teguran atau permintaan maaf di depan kamera sudah tidak cukup. Masyarakat tidak butuh d r a m a klarifikasi. Mereka menuntut tindakan nyata pemberhentian dari jabatan bagi pejabat yang merusak martabat institusi. Tanpa langkah tegas, kita sedang menormalisasi degradasi etika di ruang publik.
Kita tidak bisa terus-menerus menoleransi pejabat yang mempermalukan negara. Pejabat publik digaji dari uang rakyat. Jika ia mencederai kepercayaan itu, maka konsekuensi paling logis adalah dicopot.
Jangan tunggu masyarakat terus-menerus “membutonkannya” atau menjadikannya bahan olok- olok nasional.
Fenomena viral ini adalah bentuk kontrol social modern. Publik sudah melangkah lebih jauh: mereka menolak diam. Kini bola ada di tangan pemerintah dan lembaga etik. Apakah mereka akan mendengar suara rakyat atau memilih melindungi koleganya?
Bangsa ini butuh pejabat yang berintegritas, yang sadar bahwa setiap kata, setiap gestur, dan setiap kebijakan adalah cermin negara. Jika seorang pejabat tidak mampu menjaga etika, maka lebih terhormat baginya untuk mundur sebelum dipecat.
Kita layak menuntut lebih dari sekadar jabatan. Kita menuntut moralitas. Sebab mereka dibiayai dari hasik keringat kita, keringat rakyat.
*Penulis adalah : Ketua PDI Perjuangan Sulteng, Calon Advokat dan Petani Pemula Durian Premium.
Disclaimer : Semua isi dalam artikel Kolom Anda ini adalah tanggung jawab penulis dan di luar tanggung jawab Redaksi