“7 Tahun Pascagempa, Asa di Atas Patahan.”
Begitulah tema yang diusung oleh kawan-kawan saya dari Pewarta Foto Indonesia (PFI) Palu Pfi Palu. Hari Senin kemarin, mereka menggelar pameran foto di Palu Grand Mall (PGM). Isinya? Jepretan para pewarta foto yang mengabadikan setiap momen bencana dan pascabencana.
Melihat foto-foto itu, saya terkesima. Di setiap bingkai, terekam jelas bagaimana para fotografer mencoba menangkap kesedihan, duka, luka, nestapa, namun juga asa dan keteguhan para penyintas. Yang membuat saya paling salut, kawan-kawan fotografer ini bukan sekadar pemburu momen; mereka juga penyintas. Mereka adalah korban, sekaligus penyampai pesan. Berkat mereka, kita bisa tahu bagaimana kisah masa lalu itu terekam.
Saya sangat memahami apa yang mereka rasakan. Di awal karier jurnalistik, saya juga pernah menjadi seorang “Pemburu Cahaya.” Di awal milenium, sekitar tahun 2001-2004, saya termasuk generasi awal fotografer. Saya mengikuti senior saya, Basri Marzuki, dan bahkan menjadi pewaris salah satu kamera kantor. Kami adalah generasi awal yang bergabung di Fotografer.net bersama Rizal Rauf dan kawan-kawan lain. Jadi, saya tahu betul betapa tangguh dan gigihnya para fotografer itu.
Basri Marzuki sendiri sering membahas tentang etika dan teknik meliput saat bencana. Ia menekankan bahwa liputan kebencanaan bukan sekadar menyajikan informasi. Lebih dari itu, ia harus bisa memberi dampak besar bagi korban dan masyarakat luas.
“Liputan bencana akan bermakna ketika mampu menghadirkan empati sekaligus mendorong perhatian publik terhadap nasib para korban,” kata Basri.
Basri juga menyoroti kebiasaan beberapa pewarta yang kerap mengeksploitasi kesedihan. Mereka menampilkan gambar-gambar yang tanpa persetujuan, bahkan mengambil foto di ruang-ruang terbatas dan terlarang.
“Padahal ada hal-hal lain yang tidak kalah menarik, yang publik harus tahu tentang sisi lain dari bencana itu sendiri dan pantas untuk direkam sebagai sebuah karya jurnalistik,” imbuhnya.
Sering kali, di masa kini, banyak orang tidak lagi memandang fotografer sebagai profesi yang harus dihargai. Sering kali, ada yang seenaknya meminta, “Fotokan dulu, nanti kirim di WA ya.” Atau meminta diabadikan, tapi tidak disertai dengan penghargaan yang setimpal. Ini adalah fakta. Padahal, semua alat yang dipakai fotografer itu dibeli dengan uang sendiri. Belum lagi kalau ada kegiatan, teman-teman sendiri minta fotonya dibagikan gratis. “Biar uang rokok enggak ada,” keluh seorang kawan. Saya hanya bisa tertawa.
Yang perlu diketahui, kamera itu punya yang namanya Shutter Count. Itu adalah jumlah berapa kali tombol shutter ditekan. Semakin tinggi angkanya, semakin mendekati akhir masa pakai kamera. Jadi, setiap jepretan yang kita minta, ada usianya yang berkurang.
Kembali ke pameran foto Asa di Atas Patahan dari PFI Palu, kita bisa belajar banyak. Pameran ini bukan hanya tentang foto, tapi juga tentang bagaimana kita menghargai karya. Sebab, hanya dari tangan para fotografer inilah, setiap momentum sejarah bisa terekam. Dan seperti pesan Basri, dalam setiap jepretan, jangan pernah menghilangkan martabat subjek foto.
Begitu kira-kira..
– Abdee Mari – Pemimpin Redaksi KabarSelebes.id –