MOROWALI, Kabar Selebes – Gerakan Rakyat Morowali (Geram) berunjukrasa di DPRD Morowali terkait perusahaan PT Hengjaya Mineralindo, Kamis siang (2/10).
Aksi diwarnai bakar ban bekas di pintu gerbang DPRD Morowali dan mendapat pengamanan dari Polres Morowali.
Pengunjukrasa menyampaikan enam poin tuntutan yakni, pertama, menuntut konpensansi lahan perkebunan dan tanam tumbuh petani lingkar tambang PT. Hengjaya Mineralindo diselesaikan;
Kedua, menuntut perusahaan melakukan sosialisasi pembangunan smelter, amdal, pemberdayaan rekrutmen tenaga kerja;
Ketiga, menuntut hentikan aktivitas tambang ilegal crusher.
Selanjutnya, keempat yakni menuntut transparansi luas Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan perusahaan pertambangan; persetujuan masyarakat; dan
Kelima, menuntut penolakan peningkatan produksi dua puluh juta ton tanpa
Terakhir, menuntut realisasi royalti yang telah disepakati.
Pendemo meminta kepada DPRD Morowali untuk menindaklanjuti tuntutan massa. pendemo. DPRD Morowali diminta untuk melakukan audiensi kepada Gubernur Sulawesi Tengah
Dengan tuntutan yang disampaikan oleh Gerakan Rakyat Morowali Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Morowali akan menindaklanjuti sebagai pada 6 Oktober 2025.
Selanjutnya, mendesak Gubernur Sulawesi Tengah melakukan pembinaan dan pengawasan terkait adanya dugaan pelaksanaan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
Berikutnya, meminta dewan untuk mendesak kepada Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah untuk mengunjungi Masyarakat Lingkar Tambang PT. Heng Jaya Mineralindo dengan tidak membutuhkan waktu yang tidak lama.
Kemudian, mendesak kepada Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah Sebagai Perwakilan Pemerintah Pusat untuk transparansi terkait peneribtan luas Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan;
Dan, mendesak kepada Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah agar mengeluarkan Surat edaran kenada seluruh Investasi Pertambangan di Kahunaten.
Aksi ini diterima Ketua dan sejumlah anggota DPRD Morowali dan merespons tuntutan aksi.
PT Hengjaya Mineralindo menanggapi poin-poin tuntutan dari Gerakan Rakyat Morowali.
Fitrah, Humas PT Hengjaya Mineralindo menjelaskan terkait IPPKH, jauh sebelum HM memulai aktifitas penambangan Hengjaya telah memiliki Izin IPPKH sebagai mandat dari Negara untuk mengolah kawasan hutan di wilayah IUP HM sendiri.
“HM juga telah menyelesaikan dan melunasi semua Penghargaan terhadap aktifitas warga beberapa desa yang merambah dan berkebun di dalam HPT sebagai kebijakan internal HM sebagai jalan tengah dari aktifitas perkebunan di area hutan kawasan,” jelas Fitrah.
Lanjutnya, pelunasan dilakukan pada 350 KK di desa Bete-Bete, 177 KK d desa Tangofa dan 4 KK d desa Padabaho sehingga HM Tidak akan mengeluarkan lagi biaya untuk ganti tanam tumbuh didalam area Hutan Produksi Terbatas.
Selanjutnya, Fitrah menjelaskan tidak ada pembangunan smelter di dalam IUP HM, yang ada adalah rencana pembangunan slurry plant sebagai salah satu upaya Hengjaya dalam mendukung program pemerintah pengurangan emisi karbon dengan penghematan penggunaan energi fosil.
“Sosialisasi dan Konsultasi Publik telah dilakukan. Pengutamaan pemberdayan dan tenaga kerja lokal adalah prioritas utama kebijakan HM dan semua kontraktor HM, sebab cost buat karyawan lokal jauh lebih ringan dibanding mendatangkan orang luar,” kata Fitrah.
Berikutnya, penggunaan crusher didalam IUP HM adalah semata pemanfaatan sumberdaya batuan ketika proses konstruksi dan maintenance pekerjaan jalan hauling (MHR) internal Hengjaya. Hal ini telah sesuai dengan Amdal dan telah beberapa kali di supervisi oleh otoritas terkait.
Lalu soal luas izin pinjam pakai kawasan hutan milik Hengjaya, kata Fitrah telah sesuai dengan ketentuan yang diterbitkan pemerintah. Hengjaya tidak pernah keluar dari koridor yang telah ditentukan oleh pemerintah.
Kemudian, terkait peningkatan produksi nikel telah sejalan dengan program hilirisasi komoditas unggulan pemerintah, dan semua prosesnya telah berjalan sebagaimana mestinya
Terakhir, kata Fitrah, sejak hadirnya ketentuan pemerintah yang melarang pembayaran fee/royalti maka Hengjaya segera merubah dan menyesuaikan kebijakannya menjadi Pengembangan Pemberdayaan Masyarakat (PPM) yang dibayarkan sebanyak Rp 5 milyar per tahun untuk seluruh desa lingkar tambang, hal ini telah sejalan dengan ketentuan pemerintah yang berlaku.(*)