LUWUK, Kabar Selebes – Kawasan Hutan Suaka Margasatwa (SM) Bangkiriang yang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi sejak 1936 oleh Haji Awaluddin Raja Banggai, masih dijaga oleh masyarakat Batui sebagai bagian dari ikatan budaya molabot tumpe. Namun, pada 2017, Kepala Seksi Wilayah II Balai Gakkum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sulawesi menemukan adanya perambahan kawasan yang telah dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit.
Kasus perambahan ini hingga kini belum mendapatkan penanganan serius. Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Sulteng, Julianer Aditya Warman, menilai bahwa persoalan ini tidak hanya harus dilihat dari sisi delik formil atas perbuatannya, tetapi juga dampak yang ditimbulkan terhadap negara.
“Kasus ini sudah berlangsung cukup lama, tetapi belum ada penegakan hukum yang tegas. Seharusnya, tidak hanya perbuatan yang diperiksa, tetapi juga akibat yang ditimbulkan karena ada indikasi kerugian negara. Jika tidak ada tindakan hukum, maka dampak dari perbuatan ini bisa lolos dari jeratan hukum. Kejati Sulteng sudah melakukan langkah tepat dengan mendalami kasus ini dan menyeret pelaku ke proses hukum,” ujar Julianer saat dikonfirmasi, Senin (10/3/2025).
Julianer menegaskan bahwa Suaka Margasatwa Bakiriang memiliki fungsi ekosistem yang penting bagi keanekaragaman hayati dan iklim di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Kawasan ini resmi menjadi milik negara melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 398/Kpts-II/1998 pada 21 April 1998.
Untuk menyelamatkan kawasan ini dari perambahan ilegal, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah telah memeriksa 16 orang, termasuk pejabat dan tokoh masyarakat, guna mendalami kasus alih fungsi lahan konservasi. Julianer menyoroti bahwa kasus ini semakin rumit karena diduga ada unsur kesengajaan dalam penguasaan lahan oleh pihak pengusaha.
“Pengusaha mendapatkan tanah dalam kawasan ini dari petani setempat, yang awalnya mengolahnya. Padahal, berdasarkan surat Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulteng Nomor: S.930/IV.BKSDA.K-26/2010, kawasan ini memiliki status sebagai Suaka Margasatwa berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 398/Kpts-II/1998,” jelasnya.
Menurut Julianer, perubahan luas kawasan konservasi mulai terdeteksi sejak 8 Mei 2014 akibat perambahan dan alih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit. Sejumlah LSM pun telah melaporkan kasus ini, menuntut pemulihan kembali status kawasan konservasi yang kini dikuasai oleh pihak swasta.
“Penguasaan lahan konservasi ini bertentangan dengan hukum, tetapi tetap dibiarkan. Padahal, data sejak 2014 hingga 2017 menunjukkan adanya pengurangan luas kawasan konservasi yang berakibat pada kerugian negara. Oleh karena itu, penegakan hukum harus menyoroti tidak hanya perbuatan, tetapi juga dampaknya terhadap lingkungan dan negara,” katanya.
Julianer juga menegaskan bahwa masyarakat yang berada di sekitar kawasan konservasi bukanlah pelaku utama dalam kasus ini, melainkan korban kepentingan ekspansi perkebunan sawit.
“Jangan sampai ada kesalahpahaman. Perambahan kawasan konservasi ini bukan semata-mata dilakukan oleh masyarakat, melainkan ada kepentingan besar di baliknya. Mereka dijanjikan keuntungan dari panen tandan buah segar (TBS), tetapi pada akhirnya hanya menjadi korban,” tutupnya.**